Brand(ing) & UMK


Telah banyak buku yang menjelaskan terminologi ini, dari yang bercerita brand building, integrated brand promotion, hingga yang mutakhir anti branding. Namun penulis dalam bagian ini ingin bercerita pengalaman empiris, yang didukung oleh beberapa teori branding, bagaimana posisi produk, brand, dan iklan sebenarnya. Dalam sebuah acara talkshow bincang bisnis kreatif di sebuah radio di Bandung, Saya menjadi narasumber dari pelaku kreatif industri mewakili institusi pendidikan tempat saya mengajar. Selama satu tahun saya ikut terlibat dalam talkshow tersebut, sehingga cukup memahami bagaimana produsen memandang produknya, cara menjualnya, pentingnya brand, kemasan, dan komunikasi produknya kepada calon konsumen. Sebenarnya cukup sederhana, para pengusaha mikro kecil (UMK) berusaha membuat produknya berkualitas dan berbeda sehingga mendapatkan posisi yang baik dipasar. Brand hanyalah sebuah logo (merek mereka bilang) yang bertujuan sebagai pembeda dari produk-produk pesaing maupun pengikut. Dari beberapa kisah sukses yang hadir umumnya dikarenakan mereka bertahan untuk mempertahankan kualitas produk dan distribusi produk ke pasaran.

Dari sebuah diskusi menarik mengenai pemasaran dengan para pelaku UMK, saya menjelaskan tentang perjalanan membangun sebuah produk, brand, pemasaran hingga sampai ke tangan konsumen. Umumnya para peserta sudah berkeluarga namun umurnya tidak jauh berbeda dengan saya, sehingga saya selalu memanggil mereka Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Saya berusaha ‘menurunkan’ tingkat gaya bahasa keilmuan saya (baik secara praktisi maupun keilmuan) jauh lebih bawah dan mudah dipahami oleh mereka (UMK). Berikut petikan ‘ceramah’ saya mengenai produk dan pemasaran:

“Saya selalu menekankan kepada pendengar bahwa kualitas dan keunikan produklah yang menjadi kekuatan utama mereka dalam membangun bisnis mereka. Karena pembelian ulang produk oleh pelanggan lebih dikarenakan mereka mendapatkan manfaat dari kekuatan produk yang dibelinya, bukan mutlak akibat adanya kemasan, iklan, atau komunikasi merek lainnya. Namun bila ingin bisa bersaing, para ‘pengikut’ jauh lebih sering dibicarakan dalam acara tersebut, buatlah pembeda antara produk Bapak-Ibu dengan yang lain, yaitu dengan cara membuat nama dan logo yang menarik (umumnya mereka tidak memiliki nama bahkan logo untuk produknya). Namun bila Bapak-Ibu ingin usahanya lebih maju, logikanya adalah dengan melebarkan area jual (pasar) Bapak-Ibu, yaitu dengan menyebarkannya ke daerah lain (karena sebagian besar pelaku UMK masih berjualan disatu tempat, entah dirumahnya, kios, atau lapak). Nah konsekuensinya, lanjut Saya, produk Bapak-Ibu harus dibungkus dong, itu istilahnya kemasan. Masalahnya ketika produk bapak-ibu harus dikemas orang tidak pernah tahu kehebatan produk yang ditawarkan, misalnya makanan, orang tidak lagi bisa mencoba rasa dari produk yang dijual. Untuk itu kemasan harus dirancang agar orang tahu kehebatan produk Bapak-Ibu, selain itu dengan adanya logo serta desain kemasan yang unik calon konsumen dengan mudah mencari produk bapak dan ibu di tempat penjualan dimana Bapak dan Ibu titip. Masalah lain timbul bagaimana orang akan tahu bahwa produk bapak dan ibu dijual ditempat-tempat lain, maka Bapak dan ibu harus membuat pengumuman yang biasa disebut iklan. Manfaatkan saja media yang sederhana dan umum seperti leaflet, sticker (ditiang listrik), x-banner, dll. yang sekiranya dapat diidentifikasikan oleh calon konsumen Bapak-Ibu sasar. Namun Saya tegaskan kembali Bapak-Ibu kekuatan produklah yang membuat para pelanggan melalukan pembelian ulang sebuah produk,” tutup saya dalam sesi ‘ceramah’ tersebut.

,

Leave a Reply

Discover more from Cre_art_ivity

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading